Jakarta – Pusat data telah menjadi ‘jantung’ diskusi transformasi TI karena end user telah mencoba untuk membangun TI yang lebih baik dalam hal skalabilitas, ketangkasan, dan efektifitasnya dalam 10 tahun terakhir. Tidak terhitung berbagai jalan yang telah dianjurkan untuk menyederhanakan apa yang telah menjadi sistem yang sangat rumit selama bertahun-tahun.
Satu dari kerumitan ini adalah berkembangnya ‘alam semesta’ server yang membawa pulau-pulau informasi berbeda di dalam organisasi. Telah menjadi suatu kecenderungan bahwa TI menjadi lebih mudah menyebar karena meningkatnya kebutuhan TI untuk mendukung layanan sehingga akan mengakibatkan kebutuhan lebih banyak server.
Menurut Andreas Kagawa, Country Manager VMware Indonesia, meskipun usaha melakukan konsolidasi telah banyak dilakukan bahkan sebelum virtualisasi muncul di server x86, tetaplah menjadi tantangan untuk benar-benar mengurangi jumlah server fisik sampai virtualisasi server menjadi aspek yang paling penting.
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pasar server x86 Indonesia tumbuh 12,6% CAGR dari tahun 2007-2012, dan diprediksi akan tumbuh 9,3% dari tahun 2012-2020.
Virtualisasi di Asia Pasifik
Kawasan Asia-Pasifik adalah campuran pasar yang matang (mature) dan berkembang (emerging). Mengambil belanja TI dan tingkat kematangan sebagai kriteria, maka Jepang, Australia, Selandia Baru, Singapura, Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan adalah pasar yang matang. Sedangkan Cina, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, Philipina, Vietnam dan sisanya adalah pasar yang berkembang.
“Pasar yang matang, yang memiliki TI ‘legacy‘ lebih lama dan kaya, tumbuh lebih lamban dan memiliki proporsi yang lebih besar untuk perangkat lunak (software) dan layanan (services) di dalam belanja TI mereka (75% di tahun 2012),” kata Andreas.
Sebaliknya, pasar yang berkembang tumbuh lebih cepat dan memiliki proporsi yang lebih besar untuk perangkat keras (hardware) di dalam belanja TI mereka (52% di tahun 2012).
IDC sendiri selalu melihat tren yang berbeda dalam hal adopsi teknologi di dua kategori pasar ini dimana pasar yang matang selalu terdepan dalam adopsi teknologi dan menunjukan lebih banyak perubahan nilai dalam hal belanja TI dibandingkan dengan pasar yang berkembang.
Pasar yang berkembang, dengan ‘bahan bakar’ pertumbuhan ekonomi, terus melakukan investasi lebih banyak di pembangunan skalabilitas infrastruktur yang mendukung perluasan bisnis.
Namun masalah yang sama seperti kerumitan yang berkembang, ruang pusat data yang mengecil, dan meningkatnya biaya telah muncul di kedua pasar ini dalam 5 tahun terakhir.
Pasar yang matang mengalami mengalami tekanan yang lebih keras karena mereka ditekan untuk mengurangi belanja tapi harus membangun ketangkasan dan skalabilitas yang lebih baik, sementara pasar yang berkembang harus berusaha mengatasi tantangan membangun skalabilitas yang besar sekali dengan infrastruktur yang lebih sederhana.
“Masalah dan solusinya adalah meninjau ulang strategi infrastruktur, tapi keadaan yang mendesak masih belum ada,” Andreas menambahkan.
Resesi keuangan tahun 2008 dalam berbagai bentuknya memberikan pukulan yang dahsyat. Menghadapi anggaran yang diperketat dan tumbuhnya sifat dasar strategis TI, para CIO menyadari kebutuhan kritis untuk membangun sebuah infrastruktur yang berbeda ‘melakukan lebih banyak dengan lebih sedikit’ (does more with less).
Munculnya cloud memperlihatkan sebuah janji kepada jajaran bisnis bahwa ada solusi TI yang dapat disediakan dan digelar dengan lebih cepat daripada yang dapat ditangani oleh internal TI. Ini memberikan tekanan lebih jauh kepada internal TI untuk berubah dan mencari cara untuk mendapat sistem infrastruktur TI yang lebih fleksibel.
Ada juga perasaan yang berkembang bahwa sumber-sumber daya TI dan terutama server sangat tidak efisien. Karena aplikasi terletak di dalam pusat data, dan server hanya ada satu, menjadi tidak efisien.
Kedua, terlalu lamanya dalam hal pembelian dan penggelaran — sehingga ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk sebuah solusi yang dapat membantu lebih banyak dengan server yang ada dan mempercepat penyediaan (provisioning).
Virtualisasi Server
Virtualisasi server, meski bukan konsep baru, menciptakan sebuah gelombang antusiasme di dunia x86 saat para CIO menemukan cara untuk mengendalikan desakan volume kelompok server x86 di dalam pusat data mereka dengan solusi unik ini.
Meningkatnya kapasitas komputasi dan resilience — kemampuan untuk pulih kembali dengan cepat dari suatu gangguan — dari deretan server x86 mulai membangun kepercayaan pelanggan untuk menggelar lebih banyak beban kerja pada mereka dan memindahkan mereka dari non-server x86.
Server x86 diakui sangat mengesankan pada beban kerja yang memerlukan infrastruktur scale-out. Sejak TI lebih mudah tersebar, IDC melihat peningkatan yang stabil dalam pertumbuhan server x86 sampai tahun 2011, dengan sedikit penyimpangan pada tahun 2008 yang disebabkan pelemahan ekonomi global.
Meluasnya dengan cepat server x86 menempatkan dilema yang unik untuk para CIO tentang bagaimana untuk mengakomodasi lebih banyak kapasitas di ruang data yang menyusut.
Satu-satunya cara ke depan adalah dengan melakukan konsolidasi beban kerja ke dalam lebih sedikit server, tapi tidak ada solusi nyata yang membuat perbedaan, hingga datangnya virtualisasi.
Virtualisasi mulai memberikan dampak di Asia/Pasifik kecuali Jepang (Asia/Pacific Excluding Japan -APEJ), meski dengan kapasitas yang bervariasi di setiap negara, mulai tahun 2007 dan dampak nyata terhadap server fisik terlihat mulai tahun 2011 ke depan.
Tren pengiriman server di APEJ memperlihatkan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan yang kuat (compound annual growth rate-CAGR) 9% untuk 7 tahun sebelumnya mulai tahun 2004 sampai tahun 2010, dan turun menjadi 6% di 7 tahun berikutnya dari 2011-2017 .
Continuum Survei yang dilakukan IDC tahun 2008 memperlihatkan para manajer TI termotivasi untuk mengadopsi virtualisasi server untuk menjawab masalah-masalah biaya, kerumitan, dan konsolidasi selain masalah lainnya di pusat data.
Ini khususnya saat-saat yang penuh dengan tekanan disebabkan oleh pelemahan finansial yang membantu virtualisasi menjadi alasan yang tepat. Alasan-alasan utama untuk menggelar virtualisasi server:
-. Mengurangi biaya
-. Menyederhanakan Manajemen/Perawatan
-. Konsolidasi Server
-. Meningkatkan Efisiensi Energi
-. Mempercepat Penggelaran Server
-. Membangun Redudancy
-. Tes dan mengembangkan aplikasi
Saat ini, IDC telah melihat kematangan enterprise di kawasan untuk melangkah lebih jauh dari hanya penghematan biaya dalam menggelar virtualisasi sebagai pendorong utama untuk membangun lebih banyak framework TI on-demand.
Sejumlah CIO hari ini merasa virtualisasi sebagai pertanda penting untuk membangun lingkungan TI yang lebih lincah, mudah beradaptasi, dan selalu siap seperti cloud.
Bukan berarti virtualisasi tidak menawarkan keuntungan-keuntungan biaya, itu memperlihatkan perkembangan kematangan virtualisasi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih strategis.
“Sejumlah vendor TI bekerja sama dengan vendor virtualisasi utama, seperti VMware, untuk melekatkan kemampuan manajemen dan otomatisasi mereka di sejumlah alat milik bersama, dengan tujuan membuatnya lebih mudah bagi enterprise dalam membangun cloud,” tukas Andreas.
About the author